KEBIJAKAN KKNI DAN PERMASALAHANNYA
Pembahasan Soal UAS ANALISIS
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Oleh: MUTTAQIN, S.T.
sinopsis
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan kurikulum KKNI
(Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) yang harus menjadi acuan dalam
menentukan hasil pembelajaran (learning
outcomes)di setiap jenjang pendidikan dan pelatihan. Menurut Peraturan
Presiden No 8 Tahun 2012 tentang KKNI Pasal 1 Ayat 1, “KKNI, adalah kerangka
penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta
pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai
dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor”.
Pertanyaan:
1. Jelaskan apa yang dimaksud
dengan Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
2. Bagaimana proses pembuatan
suatu kebijakan? Jelaskan mekanismenya!
3. Siapa saja aktor-aktor dalam
pembuatan kebijakan ini secara rinci. Jelaskan pula bagaimana aktor-aktor ini
saling berinteraksi.
4.
Identifikasikan kendala-kendala yang ada, mengapa kebijakan tentang KKNI
ini tidak berjalan secara optimal sebagaimana yang diharapkan. Faktor-faktor
apa saja yang ikut mempengaruhi ketidaksuksesan kebijakan KKNI?
Pembahasan:
SOAL
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI)!
Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi
sumber daya manusia Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan
mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja
dalam suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di
berbagai sektor pekerjaan.
KKNI
merupakan perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia terkait dengan sistem
pendidikan nasional, sistem pelatihan kerja nasional, dan sistem penilaian
kesetaraan capaian pembelajaran (learning outcomes) nasional,
yang dimiliki Indonesia untuk menghasilkan sumber daya manusia nasional yang
bermutu dan produktif.
KKNI
menyatakan sembilan jenjang kualifikasi sumber daya manusia Indonesia yang
produktif. Deskripsi kualifikasi pada setiap jenjang KKNI secara komprehensif
mempertimbangkan sebuah capaian pembelajaran yang utuh, yang dapat dihasilkan
oleh suatu proses pendidikan baik formal, non formal, informal, maupun
pengalaman mandiri untuk dapat melakukan kerja secara berkualitas. Deskripsi
setiap jenjang kualifikasi juga disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, atau seni, serta perkembangan sektor-sektor pendukung
perekonomian dan kesejahteraan rakyat, seperti perindustrian, pertanian,
kesehatan, hukum, dan aspek lain yang terkait. Capaian pembelajaran juga
mencakup aspek-aspek pembangun jati diri bangsa yang tercermin dalam Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika yaitu
menjunjung tinggi pengamalan kelima sila Pancasila dan penegakan hukum, serta
mempunyai komitmen untuk menghargai keragaman agama, suku, budaya, bahasa, dan
seni yang tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia.
Sumber bacaan: http://kkni.ristekdikti.go.id/
SOAL
2. Bagaimana proses pembuatan suatu
kebijakan? Jelaskan mekanismenya!
Tahap-tahap proses pembuatan kebijakan publik menurut William
Dunn adalah
sebagai berikut:
1. Penyusunan Agenda
Penyusunan agenda adalah
sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik.
Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah
publik dan agenda publik perlu diperhitungkan. Jika sebuah isu telah menjadi
masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu
tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu
lain.
Dalam penyusunan agenda juga
sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu
agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai
masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya
muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah
tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan
tersebut.
Menurut William Dunn (1990),
isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang
rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu.
Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa
Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974;
Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:
1.
telah mencapai titik kritis tertentu karena jika diabaikan, akan menjadi ancaman
yang serius;
2.
telah mencapai tingkat partikularitas tertentu karena berdampak dramatis;
3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia)
dan mendapat dukungan media massa;
4.
menjangkau dampak yang amat luas ;
5.
mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi
mudah dirasakan kehadirannya)
Penyusunan agenda kebijakan
seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga
keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat
urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam
agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah
tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.
Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan
kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk
dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing
slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk
memecahkan masalah.
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk
memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi
dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan
pemerintah yang sah. Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi -
cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang
membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola
melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang
belajar untuk mendukung pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan
dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian
kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi
dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak
hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses
kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan
masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan
masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
Sumber bacaan: https://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik
SOAL
3. Siapa saja aktor-aktor dalam pembuatan
kebijakan ini secara rinci. Jelaskan pula bagaimana aktor-aktor ini saling
berinteraksi!
Aktor dan pelaku
pembuat kebijakan publik merupakan orang / kelompok orang yang bertugas
menganalisis/merumuskan/menyusun kebijakan. Pejabat pembuat kebijakan
adalah orang yang mempunyai wewenang yang sah untuk ikut serta dalam formulasi
hingga penetapan kebijakan publik, walau dalam kenyataannya beberapa orang yang
mempunyai wewenang sah untuk bertindak dikendalikan oleh orang lain.
Menurut Anderson dalam Abdul Wahab (2005), Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, yaitu:
1. Aktor negara atau pembuat kebijakan resmi (official
policymakers)
2. Aktor non negara (nongovernmental participants).
Pembuat
kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat
dalam perumusan kebijakan publik. Mereka ini menurut terdiri atas legislatif;
eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. Legislatif merujuk kepada
anggota kongres/dewan yang seringkali dibantu oleh para staffnya. Adapun
eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran kabinetnya. Sementara itu, badan
administratif menurut merujuk kepada lembaga-lembaga pelaksana kebijakan. Di
pihak lain menurut, Pengadilan juga merupakan aktor yang memainkan peran besar
dalam perumusan kebijakan melalui kewenangan mereka untuk mereview kebijakan
serta penafsiran mereka terhadap undang-undang dasar. Dengan kewenangan ini,
keputusan pengadilan bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan
publik.
Selain
pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses
kebijakan yang meliputi diantaranya kelompok kepentingan; partai politik;
organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini
yang disebut sebagai peserta non pemerintahan (nongovernmental participants)
karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan,
tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang
mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi; memberikan
tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi. Mereka juga dapat menawarkan
proposal kebijakan yang telah mereka siapkan. Jadi meskipun pada akhirnya
kebijakan ditentukan oleh institusiyang berwenang, keputusan diambil setelah
melalui proses informal negosiasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan.
Dengan demikian keterlibatan aktor lain dalam pemberian ide terhadap proses
perumusan kebijakan tetap atau sangat diperlukan.
Lembaga/instansi
pemerintah banyak terlibat dalam perumusan ataupun pengembangan kebijakan publik. Hal ini terkait
dengan pemahaman bahwa kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah
mengenai masalah tertentu sehingga keterlibatan lembaga itu sebagai aparat
pemerintah dalam ikut menentukan kebijakan menjadi semakin terbuka. Dengan
pemahaman tersebut, maka lembaga/instansi Pemerintah telah menjadi pelaku
penting datam proses pembuatan kebijakan. Selain itu, lembaga/instansi
pemerintah juga menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan kebijakan
dalam sistem politik. Lembaga/instansi tersebut secara khas tidak hanya
menyarankan kebijakan, tetapi juga secara aktif melakukan lobi dan menggunakan
tekanan-tekanan dalam penetapan kebijakan publik.
Jones, 2007, mengemukakan secara umum aktor-aktor atau yang terlibat
dalam proses formulasi kebijakan dibagi dalam dua kategori besar yakni :
1. Aktor Inside Government, pada umumnya
meliputi: a) Eksekutif (Presiden; Staf Penasihat Presiden; para Menteri, para
Kepala Daerah) yang umumnya merupakan jabatan politis; b) Anggota-anggota dari
badan perwakilan rakyat (Lembaga Legislatif); c) Badan dan orang-orang
Yudikatif secara parsial; dan d) Birokrasi.
2. Aktor Outside Government, pada umumnya
meliputi: a) Kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) yang bisa berwujud
LSM (NGO). Kelompok/ikatan profesional, kelompok bisnis, perserikatan buruh,
bahkan organisasi atau lembaga keagamaan; b) Akademisi, peneliti dan konsultan,
pihak swasta (perusahaan) memberikan layanan sesuai permintaan pemerintah); c)
Politisi; d) Media massa; e) Opini publik; f).Kelompok sasaran kebijakan
(beneficiaries); g) Lembaga-lembaga donor.
Aktor-aktor
yang terlibat dalam formulasi pun memiliki peran yang berbeda dengan evaluasi
rancangan kebijakan. Aktor-aktor dalam formulasi adalah individu atau kelompok
yang memiliki kepentingan dengan kebijakan yang dibuat dan berasal dari
berbagai kalangan. Dalam formulasi paling tidak, stakeholders bisa berasal dari
legislatif, eksekutif maupun kelompok kepentingan. Ketiganya berada dalam
kepentingan yang sama dalam pengambilan keputusan sedangkan dalam evaluasi
rancangan kebijakan,aktor-aktor yang terlibat dalam eksekutif tetapi berasal
dari tingkat pemerintahan yang berbeda. Hubungan antar aktor ini bisa bersifat
horizontal (layers), vertikal (levels), maupun antar lembaga (locus-loci).
Secara
umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak aktor (layers, levels, loci) yang
terlibat dalam formulasi sebuah kebijakan, maka akan semakin sulit pula
kebijakan tersebut diimplementasikan dan mencapai tujuan yang diharapkan. Hal
ini mudah dipahami karena semakin banyak aktor yang terlibat, maka akan semakin
banyak pula biaya koordinasi yang dibutuhkan, semakin banyak pula kepentingan
yang bersaing untuk didahulukan, belum lagi masalah kewenangan dan tanggung
jawab antar aktor yang mesti diperjelas terlebih dahulu.
Orang-orang
yang terlibat dalam formulasi kebijakan publik tersebut sebagai aktor formulasi
kebijakan publik. Sebutan lain bagi aktor adalah partisipan, peserta perumusan
kebijakan publik. Oleh karena kebijakan publik mempunyai tingkatan-tingkatan
(nasional, umum, khusus, dan teknis), maka para aktor formulasi kebijakan di
setiap tingkatantingkatan tersebut berbeda. Tentunya agar kebijakan yang
dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, salah satu
alternatif yang dilakukan adalah kemauan pemerintah untuk membangun jaringan
dengan aktor di luar pemerintah, yaitu aktor privat dan aktor civil society.
Pemerintah sudah tidak tepat lagi memandang aktor-aktor tidak resmi sebagai
”lawan politik” tetapi sudah saatnya pemerintah menjadikan aktor-aktor itu
sebagai ”sahabat” dalam membicarakan produk-produk kebijakan publik di daerah.
Sumber: Sholih Muadi, dkk., KONSEP DAN KAJIAN TEORI PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK, Jurnal Review Politik, Volume 06, No 02, Desember 2016
SOAL
4. Identifikasikan kendala-kendala yang
ada, mengapa kebijakan tentang KKNI ini tidak berjalan secara optimal
sebagaimana yang diharapkan. Faktor-faktor apa saja yang ikut mempengaruhi
ketidaksuksesan kebijakan KKNI?
Meski sudah ditetapkan sejak tiga tahun lalu,
tidak banyak PT yang kurikulumnya berbasis KKNI. Perguruan tinggi (PT),
khususnya program studi (Prodi), dituntut merevisi kurikulumnya berdasarkan
kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI) yang terbit berdasarkan
Peraturan Presiden No. 8/2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 73/2013
tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Berdasarkan PP di atas, KKNI adalah kerangka
penjenjangan kualifikasi kerja yang menyandingkan,
menyetarakan, mengintegrasikan,
sektor pendidikan dan pelatihan serta pengalaman
kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai
dengan jabatan kerja di berbagai sektor.
Menyusun kurikulum berbasis KKNI disadari
bukan pekerjaan mudah bagi civitas akademik kampus. Dibutuhkan pemahaman dan
komitmen dosen. Di sini peran dan dukungan ketua Prodi, Dekan, dan Rektor
sangat penting.
Berikut adalah beberapa catatan terkait
penyusunan KKNI.
Pertama, profil lulusan Prodi sesuai dengan kebutuhan pengguna lulusan (user). Tracer
study merupakan cara untuk memperoleh data profil dan kompetensi apa
yang dibutuhkan oleh pengguna. Masalahnya, meski Prodi tahu kompetensi apa saja
yang dibutuhkan lulusan, tidak segera diikuti oleh perubahan kurikulum. Tracer
study sekedar untuk kelengkapan borang akreditasi.
Perubahan kurikulum tidak sebatas mengubah
dokumen tertulis, tapi juga perubahan paradigma dosen, budaya akademik, dan
fasilitas kampus yang merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran di
kampus. Kecuali itu, sinergi dan komunikasi antar unit di level fakultas dan
universitas harus terjalin baik, sehingga pembelajaran dan program Prodi,
fakultas, dan universitas berjalan baik pula.
Karena setiap kampus, daerah, dan masyarakat
pengguna itu unik dan beragam, maka perlu distingsi lulusan Prodi yang sama di
kampus yang berbeda. Di luar faktor keragaman tadi misalnya, apa bedanya
lulusan Prodi Manajemen Pendidikan di bawah Kemenristek Dikti, dengan lulusan
Prodi Manajemen Pendidikan Islam di bawah Kemenag?
Mengenai pengakuan pengguna terhadap
kompetensi lulusan, jangankan bisa diakui dunia atau level Asia, di dalam
negeri saja alumni kita sering tidak diakui. Guru di sekolah kelas
menengah-atas dituntut menguasai Bahasa asing, apakah ada LPTK di Indonesia
yang alumninya dijamin mampu berbahasa asing? Jika ada, berapa
jumlahnya?
Kedua, perubahan kurikulum bisa dilakukan dengan beragam cara, seperti:
jumlah mata kuliah (MK) dikurangi, nama MK diganti, dan sks MK ditambah atau
dikurangi. Meski sudah dikurangi dan rata-rata 3 sks per-MK, jumlah MK di
program S-1 masih banyak. Penyebabnya, satu dosen satu MK atau lebih,
bukan team teaching seperti di S-2 atau S-3. Ada kekhawatiran
dosen tidak mendapat jam mengajar. Kecuali itu, ada MK titipan dari pusat
(penciri nasional) seperti Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa
Indonesia, juga beberapa MK penciri universitas.
Perlukah Pancasila, PKn, dan Akhlak dijadikan
MK? Belum cukupkah ia diajarkan dari SD, SMP, hingga SMA? Mengajarkan materi
nilai, baik-buruk, boleh-tidak boleh, dari mana pun sumbernya, tidak akan
berhasil jika budaya di kampus, sekolah, masyarakat, dan rumah, belum baik
seperti: kedisiplinan, kebersihan, kejujuran, antri, tanggung jawab, komitmen,
membaca, dan meneliti. Nilai-nilai karakter harus bisa dilihat dan dirasakan
oleh pelajar di mana pun mereka berada, sehingga mereka meniru dan menjadi
pelaku nilai tersebut. Kegagalan Indonesia dalam pembentukan karakter anak
bangsa adalah karena tidak padunya antara yang diajarkan dan tertulis dalam
buku-buku teks dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakatnya—orangtua,
guru, dosen, staf, pemimpin, dan
pejabat.
MK Bahasa Inggris dan Bahasa Arab diajarkan
di setiap Prodi dengan sedikit sks, sehingga tidak akan menjamin kemahiran
Bahasa mahasiswa. Karena itu, pengembangan keterampilan Bahasa asing mahasiswa
tidak bisa hanya mengandalkan MK, tapi integratif dalam proses pembelajaran di
kelas dan penciptaan budaya akademik di lingkungan kampus.
Dosen mengajar dengan bilingual, makalah dan
referensinya wajib berbahasa asing, Arabic or English Days,
pengumuman, pedoman akademik, dan lainnya disediakan dalam Bahasa asing.
Kemampuan Bahasa Inggris adalah tuntutan pengguna lulusan sejak lama sekali,
tapi diabaikan oleh banyak kampus negeri maupun swasta.
Sumber dan bahan ajar terbaru penting dalam
penyusunan silabus. Meski perubahan kurikulum dilakukan 5 tahun sekali, bahan
ajar dan sumber serta media bisa diperbaharui setiap semester, sesuai dengan
perkembangan pengetahuan, teknologi, dan masyarakat. Faktor penghambat inovasi
dan kreativitas pembelajaran di kampus adalah rendahnya komitmen dan rasa ingin
tahu para dosen. Upaya pimpinan kampus sering sia-sia atau mubazir. Misalnya,
berapa persen dosen yang mengikuti seminar, stadium general, workshop, dan
menulis makalah prosiding?
Ketiga, pembelajaran yang menantang kreativitas dan inovasi, dan mendorong
mahasiswa untuk berpendapat. Mahasiswa tidak terbiasa mengutarakan idenya di
depan kelas, karena tidak dilatih sejak SD hingga SMA. Sulit menemukan makalah
yang berisi ide-ide mahasiswa sebagai hasil analisis, melainkan hanya
kutipan-kutipan, karena tidak dilatih berpikir kritis dan memecahkan masalah.
Pendidik masih dominan di kelas, sementara pelajar pasif, baik raga maupun
pikirannya.
Akhirnya, meski berulangkali melaksanakan workshop,
belum tentu dosen memahami KKNI, apalagi yang tidak pernah sama sekali. Tidak
akan pernah mudah melakukan perubahan, termasuk melahirkan kurikulum KKNI di
kampus. Memiliki kurikulum KKNI yang ideal tak ubahnya melewati jalan terjal
berbatu, berlubang, dan menanjak. Diperlukan pemimpin yang visioner untuk
menarik gerbong dosen yang punya kompetensi dan watak beragam menuju puncak
harapan, agar uang tak terbuang sia-sia.
Tantangannya ada di internal kampus sendiri.
Sebagian dosen tidak tertarik pada hal-hal baru, maka diperlukan kebijakan yang
membuat dosen tidak bisa tidak harus memahami KKNI. Dosen yang sudah tahu pun
belum tentu melakukan perbaikan. Kenapa? Karena sistemnya memungkin dosen untuk
tidak melakukan. Budaya kerja kita adalah sistem kebut semalam (SKS). Ketika
menyusun borang akreditasi atau visitasi akreditasi misalnya, kita baru sibuk
menghubungi dan mengumpulkan dosen. Sistem dokumentasi kampus kita lemah, maka
perlu segera dibenahi.
Sumber : http://jejen.lec.uinjkt.ac.id/home-1/jalanterjalkurikulumkkni
No comments: