RADEN AJENG KARTINI: SEBELUM DAN SESUDAH MENGENAL ISLAM (MERUNTUHKAN NARASI FEMINIS ORIENTALIS)
Oleh Azzam Mujahid Izzulhaq
A. Masa Sebelum Mengenal Islam
RA Kartini (1879-1904) memang lahir dari keluarga Muslim dan juga keluarga ningrat yg dekat dengan Belanda. Namun, sebagaimana keluarga Muslim dari kalangan 'ningrat' kebanyakan di saat itu, dia yg terjangkit virus seorang orientalis Belanda bernama Snouck Hurgronje (1857-1936) yg memiliki misi sistematis untuk meminggirkan pribumi Muslim dari Bumi Nusantara. Kartini pun tumbuh dalam pola pikir dan pemahaman Islam yg keliru yg di bawa oleh Snouck.
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, Kartini menulis:
"Mengenai agamaku Islam Stella, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Al Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang saleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?"**
Perhatikan rangkaian kalimat RA Kartini tersebut, begitu kental bahwa pemahamannya adalah pemahaman Islam yg keliru yg memang dihembuskan di kalangan umat Islam pada saat itu oleh Snouck Hurgronje yg berhasil berpura-pura menjadi seorang Muslim, kemudian mempelajari Islam dan Arab di Makkah Al Mukarramah, dan kembali ke Nusantara dengan memperkenalkan diri dengan nama Syaikhul Islam Jawa.
Salah satu ajaran Snouck adalah sakralisasi Al Quran. Al Quran boleh bahakan harus ada di setiap rumah, namun Al Quran harus ditempatkan di tempat yg paling tinggi. Bahasa Arab adalah bahasa sakral sehingga Al Quran tidak boleh diterjemahkan. Ini adalah upaya untuk menjauhkan umat Islam pribumi Nusantara untuk menghormati Al Quran tapi enggan membaca dan memahaminya.
Snouck Hurgronje adalah adviseur pada Kantoor Voor Inlandsche Zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yg bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda.
Strategi yg lainnya, adalah melakukan pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yg berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yg mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka.
Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yg ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yg menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan. (hal. 24).
Pada tanggal 15 Agustus 1902, Kartini melanjutkan 'curhat pemikirannya', kali ini is menulis surat kepada Ny. Abendanon:
"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yg tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yg tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Sedangkan Al Quran teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya."**
Di suratnya ini, kita bisa melihat bahwa pemikiran Snouck memang benar-benar telah mewarnai seorang Muslimah bernama Kartini dan tentunya banyak Muslim dan Muslimah lainnya (mungkin saja) hingga kini.
B. Hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje
Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck sebagai orang hebat yg sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya tersebut tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
"Salam, Bidadariku yang manis dan baik!...
Masih ada lagi suatu permintaan penting yg hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut:
Apakah dalam agama Islam juga ada hukum aqil baligh seperti yg terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau?
Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya."** (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
C. Kartini Berhijrah
Pasca berkirim surat kepada Ny. Abendanon pada tanggal 18 Februari 1902, pertanyaan mengenai aqil baligh yg ia titipkan untuk disampaikan kepada Snouck Hurgronje ini kemudian terus menggundahkan hati dan pikirannya.
Qadarullah, sebagaimana dituturkan oleh Nyai Fadhilia Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, Kartini bertemu dengan tokoh agama Islam yg satu almamater (sama-sama belajar di Makkah Al Mukarramah) dengan Snouck Hurgronje, yakni Syaikh Shalih ibn Umar As Simarani atau lebih dikenal dengan nama Kyai Sholeh Darat, yg pada saat itu mengisi sebuah pengajian di rumah Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak pada saat itu yg juga adalah paman dari Kartini.
Pikirnya, Kyai Sholeh Darat yg sama-sama belajar di Makkah, adalah satu manhaj dengan Snouck. Padahal tentu saja berbeda. Kartini pun mendengarkan isi ceramah Syaikh Shalih ibn Umar alias Kyai Sholeh Darat ini dengan seksama.
Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan pandangan matanya dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yg disampaikan sang ulama besar di hadapannya. Ini bisa dipahami karena selama ini RA Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak, untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Berikut dialog Raden Ajeng Kartini dengan Kyai Shaleh Darat sebagaimana penuturan cucunya, Nyai Fadhilia Darat:
"Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?" Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh balik bertanya.
"Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku," ujar RA Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. RA Kartini melanjutkan:
"Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah swt. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"
Dialog berhenti sampai di situ Nyai Fadhila menulis Kyai Sholeh Darat tak bisa berkata apa-apa kecuali: "Subhanallah!" RA Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh Darat untuk melakukan pekerjaan besar, menerjemahkan Al Quran ke dalam Bahasa Jawa.
Setelah pertemuan itu, Kyai Sholeh Darat menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah pernikahan RA Kartini bersama Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada tanggal 12 November 1902. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yg tidak bisa dinilai manusia.
D. Siapa Kyai Sholeh Darat?
Kyai Sholeh Darat atau Syaikh Shalih ibn Umar As Simarani adalah putera dari Syaikh Umar salah satu anggota Kopassus-nya Sultan Abdul Hamid Cokro Khalifatu Rasulillah Tanah Jowo atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro.
Syaikh Shalih ibn Umar As Simarani adalah rekan santri Syaikh Nawawi Al Bantani (Kyai Nawawi Banten), yg menjadi Imam Masjidil Haram pertama dari Nusantara dan juga Syaikh Khalil Al Bankalani (Kyai Cholil Bangkalan).
Di Makkah Al Mukarramah, Syaikh Shalih ibn Umar As Simarani bersama Syaikh Nawawi Al Bantani dan Syaikh Khalil Al Bankalani berguru kepada Syaikh Muhammad Al Murqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasbullah, Syaikh Sayyid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar As Syani, Syaikh Yusuf Al Mishri serta Syaikh Jamal Mufti Hanafi.
Syaikh Shalih ibn Umar As Simarani alias Kyai Sholeh Darat adalah guru dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari (Mbah Hasyim), pendiri Nahdhatul Ulama, dan juga guru dari dari KH. Ahmad Dahlan (Yai Dahlan), pendiri Muhammadiyah.
Al Quran yg diterjemahkan Kyai Sholeh Darat ke dalam Bahasa Jawa, yg kemudian dihadiahkan kepada Kartini pada pernikahannya adalah QS. Al Fatihah sampai dengan QS. Ibrahim. QS. Al Hijr sampai dengan QS. An Naas belum sempat diterjemahkannya dikarenakan Syaikh Shalih ibn Umar As Simarani alias Kyai Sholeh Darat wafat.
E. Kartini dan Poligami
Sebagian dari kita mungkin akan heran dan merasa rancu jika kita hanya mengacu sumber sejarah dari kaum feminis dan orientalis. Kaum feminis itu anti-poligami, tapi kok Kartini sebagai salah satu tokoh yg digunakan oleh mereka malah berpoligami?
Sebagaimana kita ketahui bahwa Kartini adalah istri ketiga dari Bupati Rembang, Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Jika Kartini adalah seorang feminis emansipasis, maka mestinya ia tidak bersedia dipoligami, bukan? Dari sini saja, runtuh logika kaum feminis orientalis dalam menjadikan seorang Kartini sebagai tokoh feminis emansipasis.
Sebagaimana dijelaskan bahwa terjadi transformasi besar dari seorang Kartini setelah bertemu Kyai Sholeh Darat. Setelah mendengarkan tafsir Al Fatihah yg disampaikan. Setelah membaca Al Quran yg diterjemahkan sehingga mudah untuk memahaminya, Kartini berubah pemikirannya terhadap Islam. Ia menjadikan Al Quran sebagai sumber pengambilan keputusan dalam hidupnya.
Jika Al Quran saja tidak melarang poligami, kenapa kemudian ia sebagai manusia yg tunduk dan patuh kepada Al Quran kemudian berani-berani meragukan dan menolaknya? Demikian pola pikirnya.
F. Kartini SETELAH mengenal Islam dan Al Quran
Perhatikan surat Kartini setelah mengenal Islam tertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny. Abendanon:
"Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yg terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yg indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yg sama sekali tidak patut disebut peradaban?
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan."**
Dalam suratnya kepada Ny. Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis:
"Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yg selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai."**
Lalu dalam suratnya kembali kepada Ny. Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis:
"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah."**
G. Penutup
Sebagaimana disampaikan oleh sejarawan Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah, bahwa: Raden Ajeng Kartini adalah pejuang 'pemberontak' sistem adat dan sistem tanam paksa yang menyengsarakan rakyat, pengkritik politik zending dan penghentian politik Kristenisasi.
Sebenarnya, surat-surat Kartini kepada Abendanon dan Ny. Abendanon, Nn. Stella Zeehandelaar, Ny. Marie Ovink Soer istrii Residen Jepara, Ir. H. H. Van Kol (anggota Tweede Kamer) dan Ny. Nellie Van Kol, serta Dr. Andriani, tidaklah bermakna apapun, tidak akan dirinya menjadi 'Pendekar Kaumnya', apabila Kartini terbawa hanyut menjadi kebarat-baratan atau hanya menjadi pendukung adat saja.
Justru hanya karena Kartini menemukan jati dirinya (berhijrah) setelah mendalami makna Al Quran-lah segala duka nestapa dan kegelapan jadi tiada karena tersinari cahaya kebenaran ajaran Al Quran. Direnunginya tafsir Al Quran dalam Bahasa Jawa dan terbukalah realitas yang sedang dicari, Habis Gelap Terbitlah Terang (minazhzhulumati ilannur).
Hanya karena Al Quran-lah yg menjadikan pikirannya terbuka dan memuatkan idenya dalam surat-suratnya Raden Ajeng Kartini yg menjadikannya Teladan Kaumnya. Terkuaklah dan bangkitlah Gerakan Nasional yang ditandai dan dipelopori dengan Gerakan Pendidikan Mencerdaskan Anak Bangsa.
Ya, peringatan Hari Kartini, sejatinya adalah BUKAN tentang emansipasi dan atau bahkan poligami. Jauh lebih daripada itu, peringatan Hari Kartini sejatinya adalah tentang HIJRAH FIKRIYAH seorang wanita muslim Indonesia dari dikotomi adat dan kristenisasi (penjajah Belanda) menuju kemajuan pemikiran dan peradaban Islam yg memuliakan siapapun, termasuk perempuan.
Peringatan Hari Kartini adalah peringatan tentang DAKWAH pergerakan nasional dari kejahiliyahan penjajahan menuju cahaya kemerdekaan.
Peringatan Hari Kartini adalah tentang JIHAD penegakkan dan pengamalan Al Quran dalam ruang lingkup diri dan sosial kemasyarakatan.
Selamat Hari Kartini. Semoga Allah merahmati seluruh wanita pejuang peradaban di negeri ini, dulu hingga sekarang. Amin.
DOOR DUISTERNIS TOT LICHT: HABIS GELAP TERBITLAH TERANG
#AMI
#SelamatkanIndonesia
#LintasanPikiran
Sumber:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=300947738053174&id=100044138514395
No comments: